Kamis, 20 Mei 2010

Catatan Ujung Pagi

Semakin hari, pintu itu semakin terbuka, dan semua yang ada di dalamnya mulai tampak. Ada hal yang memang sungguh indah, ada juga batu kerikil hitam kusam yang dibuat sedemikian rupa menjadi emas. Segala macam kedok terbuka dengan lebar, lapisan emas gerbang kota hanyalah hiasan dari keburukan. Kusam, tanpa nyawa. Begitu kering, mengharapkan air mengalir tapi menutup saluran. Bagaimana mungkin kamu menggapai matahari sedangkan melangkah keluar dari kediamanmu kamu tidak pernah mau. Tunggulah sampai nyawamu bosan dengan tubuhmu. Sampai pada saatnya kamu hanya akan menyesal. Berlarilah jika memang kamu harus berlari mencapai pemberhentianmu. Ataukah kamu ingin matahari datang menjemputmu dan membakarmu?

Pulanglah jika memang kamu takut, jalan ini hanya untuk mereka yang hatinya sekeras batu kali sekaligus lembut. Jika tekadmu hanya anganmu, pulanglah. Tidak ada tempat bagi kesedihan. Ini adalah tempat dimana perang adalah yang terindah, pelipur lara hati. Dan yang harus kau bunuh adalah kebodohanmu sendiri. Lika liku cerita hidupmu tidak akan ada artinya, semua sama disini.

Buanglah lagu yang mewakili rasa dalam hatimu, berhentilah membuang waktu. Untuk apa meratapi kebodohan? Berilah dirimu waktu untuk menghunus pedang dan menghancurkan semua yang kamu temui.

Semakin hari semakin jelas saja bahwa yang menghancurkan manusia adalah perasaan mereka sendiri. Ketakutan terhadap kejatuhan membayangi dan menghalangi untuk maju. Kenapa bersusah diri, mengasihani diri sendiri untuk sesuatu yang fana? Ada waktunya manusia mati dan pergi tanpa membawa apapun, untuk apa mengumpulkan rasa sakit jika itu adalah kebodohan? Sia-sia saja jemarimu menuliskan kisah hidupmu. Lebih baik hatimu menjadi keras daripada kamu berikan waktumu bagi kesia-siaan dan kebodohan.

Perlahan, bukalah hatimu, dengarkan suaramu, apakah semua ini yang kamu cari, hal yang membuat kamu tertunduk lemah dalam hari-harimu, tidakkah kamu sadar hidupmu terlalu luar biasa untuk memikirkan hal seperti itu? Kekuatanmu mendadak hilang senyummu surut dan mengilang sejauh matamu menerawang, hanya karena kamu begitu menjunjung tinggi perasaanmu dan membiarkannya membimbingmu. Lepaskan hidupmu jika itu mengganggumu. Apakah kamu lebih hebat dari kuda beban? Tidak. Sekalipun tidak. Kualitasmu begitu dibawah, karena perasaanmu menggerogotimu kawan.

Sekali waktu, ambilah sebilah pedang dan cungkil matamu. Untuk apa kamu punya mata tapi tidak tetap arahmu. Buanglah keagunganmu yang begitu cerah sampai membuat dagumu terangkat. Sampai pada waktunya kamu hanyalah debu. Kawan, duniamu tidak hanya seluas kamu memandang, terlalu luas, tapi kamu mampu mengarunginya. Naikkan layarmu, panggil angin, dan mulailah perjalananmu.

Hal yang lain dalam barisan waktu,
Dan pagi datang dengan mendung yang menggelayut dan akan jatuh dalam wajah air. Kita duduk berhadapan dan berbicara tentang depan, tentang arah yang masing-masing kita inginkan. Tidak ada yang mustahil, jika memang masing-masing kita berharap dan itu sama. Dalam sendiriku aku tidak pernah sendiri, karena kamu selalu ada menggelayut di pundakku. Semua menjadi terasa ringan.

Baiklah aku diam, entah sampai kapan. Entah apa yang akan ada dalam benakmu nanti. Yang jelas itu adalah hidupmu, bukan aku. Itu pilihanmu, bukan pilihanku. Karena masing-masing kita tahu apa yang terbaik untuk diraih. Yang aku berikan adalah kerelaan hati untuk mengerti dan menghormati kamu. Itu saja yang aku punya.

Apakah kemurnian masih ada? Apakah kesadaran akan kesungguhan masih ada? Mengapa semua terputus saat kejujuran muncul? Apakah harus aku menjadi munafik untuk bisa memiliki?

Jelas tidak ada kehilangan, tidak ada peduli dalam dirimu. Semua sama, aku terkikis dengan semua itu. Ketergantungan terhadap alam sudah membuat aku muak, habis sudah nafasku untuk hal-hal percuma itu. Hatiku kering untuk hal itu. Aku selalu bertanya kapan, tapi entah kenapa jawaban itu tidak kunjung datang. Aku berharap.

Kamu melangkah dengan kering tanpa warna dan kemudian memulai harimu tanpa harapan yang baik. Benci dalam hatimu menelungkupkan cerah dalam matamu yang bening. Jalan yang kamu pilih menahan langkahmu. Bisikan lampaumu dari hatimu yang kusam yang kamu dengarkan, apakah faedahnya? Apakah begitu sempit cara berpikirmu? Bahkan tidak pernah ada pemaksaan dalam hal ini, masing-masing memiliki keinginan dan harapan, dan kebebasan absolut menentukan impiannya. Seperti alam yang dengan bebas menembus batas.

Jangan terlalu pikirkan apa yang hari ini tidak harus dipikirkan, lakukan apa baik. “Baik” aku maksudkan dalam arti yang sesungguhnya. Tidak perlu kamu menebar jala kebencian. Sudah terlalu banyak beban dalam hati dan pikiranmu, untuk apa lagi hal yang kecil ini menemukan tempatnya? Letakkan hal ini, damaikan hatimu.



Rabu, 12 Mei 2010

kuta, 13 Mei

Ini bukan saatnya aku berhenti
bukan pula waktu untuk menepi
lebih dari penjaga malam
ingin terlepas dari kelam

aku beringsut turun, dari semua rupa
melepasnya meskipun menyatu dengan bara
warna merahnya menyala
tapi itulah warna harinya

aku tidak mimpi tentang kesempurnaan
aku meyapa senja seperti aku meyambut embun
bahkan saat hari pun mendung
dia ada disampingku, mendukung

dia tidak pernah tahu itu
dia tidak pernah menyadari itu
aku ingin menyimpan biar kusam menjadi pelapis
biar semua tertanam

biarlah tenang berbicara dalam badai