Kamis, 15 April 2010

Kotak dalam Balai Kraton

Impianku begitu besar, aku ingin menceritakan dunia. Aku memang pemimpi, tapi aku tahuaku adalah pemimpi yang tahu kapan harus bangun dan mewujudkan mimpiku. Sekarang, mungkin aku hanya
bocah di pinggir jalan yang punya mimpi. Memandang ke atas, memicingkan mata karena sinar matahari, kemudian dia tersenyum karena melihat dirinya dalam sebuah pesawat.
Katakan, apa yang ingin kau genggam? Bumi inipun akan kau genggam jika kekuatan hatimu tak pernah padam sampai pada saatnya. Dunia memandang apa yang kau pakai, tapi langit tahu isi otak dan hatimu. Saat itu juga aku berjalan menyusuri sore kota, menatap indah yang akan aku miliki. "Bahagia bukanlah bentukan atau buatan, bahagia adalah tanggung jawabku atas diriku sendiri".
Entah apa yang aku tulis, mungkin terjadi pergunjingan dalam hatimu, tapi biarkan saja itu, karena tulisan ini juga berasal dari batinku yang berperang. Kecamuknya tidak mau berhenti. Tulisan ini bukan tentang belas kasihan, tapi tentang satu nafas bocah perempatan lampu merah yang mencari hidup.
Dan tiba-tiba aku tersenyum saat mengingat kraton ini. Singgasana tak berpengganti. Syair sang raja selalu sama, derita punggawa, tetap. Amarah kadang melesak, menusuk dalam kabut "iya". Semua tatapan tua menjawab "kemana kami mau lari?".
Kraton tanpa patih, tanpa menteri, tanpa penasehat. Jikalupun ada, mereka hanya hiasan, tidak lebih. Selain daripada itu hanyalah pion. Kisahnya melekat ke negeri seberang, sungguh hebat, tapi sayang tak bermartabat.
Ingin aku menghunus pedang yang aku tajamkan dengan potongan hati dan air mata, tapi untuk apa, toh semua itu fana. Dan semua tertunduk di hamparan emas lantai kraton, tapi semua lapar. Tersenyum, itulah yang menjadi kekuatan.
Pergilah jika sudah waktunya, kata mereka. Itu benar, tidak ada yang salah dengan itu. Tapi perang Bharatayudha 
belumlah mulai. Duduklah, diam, lakukan yang perlu, kerjakan apa yang penting, dan tanpa sadar kamu telah
membuat keajaiban. Bocah penjual koran itu muncul di sini, di babat tanah kawitan, entah kenapa aku menyebutnya
demikian. Tidak diperhitungkan, memang. Tapi nafasnya seperti sembrani. Itu yang sang raja harus tahu.
Propaganda, pembunuhan cipta, jangan kamu takuti. Aku tidak takut, karena pandanganku jauh ke negeri seberang.
Aku teringat dua orang temanku dalam kotak kami. Aku ingin berkata, mungkin kalian menjerit tertahan karena kenyataan lain, hati kalian
berontak, tapi tenanglah, ada kalanya langit mendung dan ada kalanya badai menjadi teman. Yang paling indah adalah
saat langit menjadi cerah.
Aku, inilah aku yang selalu mendukung kalian, sekalipun aku hanya penulis bodoh tanpa arah, tak tertebak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar